Di era digital, media sosial memainkan peran ganda dalam kasus penculikan. Di satu sisi, pelaku memanfaatkan platform digital untuk mengamati target, menggali informasi pribadi, dan membangun hubungan palsu. Mereka sering mengincar korban lewat unggahan publik, lokasi GPS, atau komunikasi langsung di aplikasi perpesanan.
Pelaku menggunakan media sosial untuk mendapatkan akses cepat ke kebiasaan dan rutinitas korban, terutama anak-anak dan remaja yang aktif membagikan aktivitas harian. Mereka menciptakan akun palsu, menyamar sebagai teman sebaya, lalu perlahan membangun kepercayaan korban secara online sebelum menjalankan aksinya di dunia nyata.
Namun, media sosial juga berperan sebagai alat bantu yang kuat untuk mengungkap dan menangani kasus penculikan. Keluarga dan masyarakat bisa menyebarkan informasi korban secara luas dan cepat, memicu kesadaran publik, dan meningkatkan peluang penyelamatan. Polisi dan lembaga perlindungan anak memantau platform digital untuk melacak aktivitas mencurigakan, termasuk komunikasi antara pelaku dan korban.
Pihak berwenang kini bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk memantau konten berbahaya, merespons laporan pengguna, dan menyediakan kanal pelaporan langsung. Platform besar seperti Facebook, Instagram, dan TikTok mulai mengembangkan fitur keamanan dan literasi digital, agar pengguna lebih sadar terhadap potensi ancaman.
Di tengah kemajuan teknologi, masyarakat perlu bersikap lebih waspada. Orang tua, guru, dan pengguna media sosial harus aktif mengedukasi diri dan anak-anak tentang bahaya dunia maya. Dengan pemahaman dan pengawasan yang tepat, media sosial bisa menjadi alat perlindungan, bukan ancaman.